Salahuddin Al-Ayyubi Lahir Pada Tahun

Salahuddin Al-Ayyubi Lahir Pada Tahun

Pemberian Cuti Kepada para Tentara

Pemberian cuti sangatlah berharga, terlebih lagi seorang tentara juga memerlukan waktu untuk beristirahat demi memperbaharui semangat jiwa dan mempertebal cita-cita meraih kemenangan. Salahuddin menjadikan kesempatan ini untuk mendekatkan diri secara personal serta menyiarkan dakwah kepada mereka.

Perjalanan Hidup Shalahuddin Al Ayyubi

Karier Shalahuddin Al Ayyubi sebagai tentara dimulai ketika penunjukkan atas dirinya sebagai wakil dari pamannya Asadudin Syirkuh untuk menemaninya menuju Mesir atas perintah dari Nuruddin Mahmud. Nuruddin Mahmud telah mengirimkan bantuan pasukan kepada Mesir yang kala itu sedang terjadi kekacauan di dalam tubuh Dinasti Fatmiyah, karena tindakan para menteri yang berani memutuskan perkara tanpa meminta pendapat dan persetujuan Khalifah, yang mengakibatkan ambisi para tentara Salib untuk mengadakan penyerangan terhadap Mesir agar bisa menguasainya. Berita mengenai kondisi yang dialami Dinasti Fatimiyah terdengar oleh Nuruddin Mahmud dan juga rencana pasukan Salib untuk menguasai Mesir.

Asaduddin Syirkuh yang menjadi panglima dari tentara Nuruddin Zanki yang dikirim ke Mesir untuk membantu Dinasti Fatimiyah atas sengketa jabatan penting (wazir) perdana menteri antara Syawar dan Dirgham[10]. Ketika itu, Shalahuddin mengawal kemanapun pamannya pergi. Shalahuddin mengawali perannya sebagai tentara perang di bawah komando pamannya dalam invasi ke Mesir.

Dirgham yang menjadi lawan politik Syawar, telah menjalin kerja sama dengan pasukan Salib yaitu Amuri I Raja Baitul Maqdis (Yerusalem). Tapi pasukan Syirkuh berhasil menghalau Dirgham-Amuri I hingga terbunuhnya Dirgham. Kemenangan berhasil didapatkan, Syawar telah mendapatkan keinginannya. Setelah keinginan Syawar terpenuhi, dia malah mengingkarinya dan mengusir Syirkuh serta pasukannya dari wilayah Mesir.

Peristiwa yang dialami Syirkuh dan pasukannya, terdengar oleh Nuruddin Mahmud atas penghianatan Syawar terhadap dirinya dan pasukannya. Syawar yang merasa terancam oleh pasukan Nuruddin Mahmud, ia segera menjalin hubungan dengan pasukan salib yang sebelumnya dipihak Dirgham kini berganti berada di pihaknya. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh pihak salib, yang akan melindungi Syawar dari pasukan Syirkuh dengan berbagai penebusan atau upeti kepada Pasukan Salib. Sultan Al-„Adhid yang menjadi Khalifah Dinasti Fatimiyah tidak bisa melakukan apa-apa. Dia kemudian menulis surat kepada Nuruddin Mahmud untuk meminta bantuan kepadanya dengan harapan agar memberikan jalan Keluar bagi pemerintahannya.

Permintaan Al Adhid disetujui Nuruddin Mahmud, pada 1167 M Nuruddin Mahmud memerintahkan kepada pasukannya untuk kembali menuju Mesir, guna membantu Khalifah Fatimiyah Al-Adhid dari kekacauan dalam pemerintahannya, komando diberikan kepada Syirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi sebagai pemimpin pasukan Nuruddin.

Mendengar kabar pasukan Syirkuh berangkat menuju Mesir, Syawar dengan sigap langsung menghubungi raja Baitul Maqdis Amuri I untuk segera menghalau laju Syirkuh ke Mesir. Tetapi, mereka (Pasukan salib) kalah cepat dari pasukan Muslim yang lebih dulu mencapai Mesir, dan menetap di Fustat selama 50 hari.[11] Pada akhirnya, kekalahan telah dirasakan oleh kedua pasukan gabungan Syawar-Amuri I pada kali ketiganya dalam konfrontasi melawan pasukan Muslim di Mesir, hingga sebagian wilayah penting di Mesir berada dalam genggaman Nuruddin.

Atas keberhasilannya itu, Syirkuh mendapatkan penghormatan oleh

Khalifah Al-Adhid yang simpati kepadanya. Syawar yang merupakan otak dari semua yang terjadi, telah mendapatkan hukuman mati, karena sebagai penghianat. Kemudian Syirkuh diangkat oleh Al-Adhid sebagai wazir menggantikan Syawar dan diberi gelar ”al Malik al Manshur”. Shalahuddin mendapatkan amanah sebagai pemimpin keamanan wilayah Mesir.

Ini merupakan jabatan pertama bagi Shalahuddin dalam lawatannya mendambakan pengambilalihan Mesir dari orangorang yang telah berkhianat terhadap agama dan negara. Pada 22 maret 1169 M, Syirkuh meninggal dunia, hanya 2 bulan Syirkuh merasakan pencapaian karir terbaiknya selama hidupnya sebagai seorang wazir. Shalahuddin Al Ayyubi ditunjuk langsung oleh Khalifah Al-Adhid untuk menggantikan posisi Syirkuh, Al-Adhid sangat mempercayai Shalahuddin sebagai pengganti Syirkuh mengawal Mesir dari para pemberontak khususnya para petinggi Kekhalifahan Fatimiyah yang tidak setuju dengan pencapaian Shalahuddin Al Ayyubi.

Pada saat menjadi perdana menteri Mesir, usia Shalahuddin Al Ayyubi kurang lebih berusia 30 tahun. Kepercayaan pamannya terhadap keponakannya selama ini menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan dalam kepemimpinan dan militer juga seorang yang dapat diandalkan[12]. Sebetulnya Mesir merupakan wilayah yang selama ini di harapkan oleh Nuruddin Mahmud. Dengan bersatunya Mesir, Damaskus dan Aleppo dijadikan sebagai basis-basis kekuatan Umat Islam untuk mempertahankan integritas wilayah Muslim dan kaum Muslim dari serangan para tentara salib.

Integritas Umat Islam atau wahdatul ummah merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi yang harus dilaksanakan oleh Umat Muslim. Persatuan dan kesatuan kaum Muslimin merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang luhur, lahir dari kesadaran sifat kemanusiaan yang merupakan sebuah pernyataan dari kesadaran keagamaan yang mendalam dan lahir dari ketaatan dan penyerahan yang mutlak kepada Allah swt, sehingga mewujudkan persatuan yang dijalin oleh rasa kasih sayang persaudaraan yang tiada taranya.[13]

Pada tahun 1171 M, Sultan Al-Adhid meninggal dunia, dan berakhirlah keturunan dari Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah. Tidak ada lagi pengganti Khalifah Al Adhid yang berasal dari keturunannya, Shalahuddin Al Ayyubi yang menjabat sebagai perdana menteri naik tahta, pasca kematian Al Adhid. Naiknya Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penguasa Mesir menggantikan Khalifah Fatimiyah Al Adhid, menjadi momen penting dalam misinya untuk menyatukan Umat Islam. Mesir berada dalam genggaman seorang jendral yang sholeh dan tegas. Hubungannya dengan Nuruddin bertambah baik sampai tidak berfikir untuk memisahkan diri dari monopoli kekuasaan, atau memberontak terhadap pemerintahan Nuruddin Mahmud yang sudah terjalin baik dengan keluarganya.

Tahun-tahun pertama yang telah dilewatinya di Mesir, telah mendapatkan tiga tantangan yang akan dihadapi oleh Shalahuddin. Pertama, ancaman pemberontakan dari sisa-sisa pendukung Fatimiyah di Mesir. Kedua, serangan dari orang-orang Frank yang merasa terpukul dengan jatuhnya Mesir ketangan Nuruddin. Ketiga, terjadinya ketegangan antara pihak Shalahuddin dan Nuruddin[14]. Serangan yang pertama dan kedua mampu di tangani oleh Shalahuddin dengan pasukannya, namun permaslahan yang ketiga menjadi permaslahan yang serius ketika di antara keduanya ada pihak yang berusaha untuk mencerai beraikannya. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, kejernihan kembali menyirami kedua pahlawan tersebut. Shalahuddin tetap memiliki loyalitas terhadap Nuruddin sampai Nuruddin meninggal dunia pada tahun 1173 M[15].

Pemerintah Fatimiyah merupakan pemerintahan Syiah Ismailiyah, namun para penduduk Mesir berpegang teguh pada paham Sunni. Shalahuddin tidak bekerja sendiri dalam menumpas sisa para pemberontak golongan Syiah di Mesir, dia ditemani oleh seorang birokrat brilian dari dalam pemerintahan Fatimiyah sendiri, yaitu Abdul Rahim al-Baysani al-Lakhimi al-Asqalani yang dikenal sebagai Qadhi al-Fadl.

Hal-hal yang dilakukan Shalahuddin pada selanjutnya, yaitu melanjutkan kembali misi Nuruddin Mahmud yang ingin menyatukan wilayah-wilayah Islam dalam genggamannya dan mengikatkan diri kepada Khalifah Abbasiyah. Qodhi Al Fadl menjadi menteri sekaligus penasehat bagi kerajaannya. Dalam kekuasaannya, Shalahuddin berhasil menyatukan wilayahwilayah Islam yang mencangkup utara Irak (Kurdistan), Suriah, Yaman, Maroko, dan pesisir pantai Afrika Utara.[16] Pada tahun 1177 M, Shalahuddin Al Ayyubi menikahi seorang janda dari Nuruddin Mahmud yang bernama As-Shitt Khatun Ismatuddin binti Mu‟inuddin Unur.[17]

Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimyah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun lamanya. Keberhasilan tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Dalam mengonsolidasikan kekuatannya, ia memanfaatkan keluarganya untuk melakukan ekspansi kewilayah lain. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman pada tahun 1173M. Taqiyuddin, keponakannya diperintahkan untuk melawan tentara salib di Dimyat. Adapun Syihabuddin, pamannya diberi kekuasaan untuk menduduki salah satu kota di Mesir. Dari Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Negaranegara Muslim. Pada tahun 1174 ia berhasil menguasai Damaskus kemudian Aleppo (tahun 1185) dan  Mousul (pada 1186).

Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat mengembalikan mazhab Sunni. Melihat keberhasilannya itu Khalifah al-Musta‟di dari Bani Abbasiyah memberi gelar kepada Shalahuddin yaitu al-

Mu’izz li Amiiril mu’miniin (penguasa yang mulia). Khalifah al-Musta‟di juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak saat itulah Shalahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin Umat Islam dan Kaum Muslimin).

Di bawah kekuasaanya, Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Umat Islam, setelah pada tahun 1099 M, berada dalam kekuasaan pasukan Salib. Pada 10 Feb 1144  M, penyerahan Baitul Maqdis diserahkan oleh Balian of Ibelin dari pasukan Salib karena telah menyepakati perjanjian damai dengan Shalahuddin Al Ayyubi, setelah dilakukan pengepungan oleh Shalahuddin terhadap kota Baitul Maqdis selama 12 hari. Dengan dikuasainya Baitul Maqdis, maka jatuhlah sebagaian besar kota-kota dan wilayah yang masih dalam penguasaan kaum salib. Momen jatuhnya Baitul Maqdis bertepatan dengan malam isra’ mi’raj 27 Rajab 538 H.[18]

Atas hilangnya Baitul Maqdis dari kekuasaan pasukan Salib, pasukan Shalahuddin tidak melakukan kekerasan terhadap penduduk Kristen Baitul Maqdis (Yerusalem), tidak seperti yang telah dilakukan pasukan Salib pada 1099 M, dalam invasi pertamanya menguasai Baitul Maqdis yang telah membunuh 70.000 penduduk Muslim dari anak-anak hingga dewasa. Kekejaman yang dilakukan oleh Umat Kristen terhadap Umat Islam, tidak dibalas oleh Umat Islam ketika berhasil mengambil alih Baitul Maqdis. Justru, rakyat Kristen dikawal ketat oleh para tentara Islam ketika keluar dari Baitul Maqdis.

Mendengar keberhasilan Umat Islam telah menguasai Baitul Maqdis, Umat Kristen Eropa merasa terpukul atas hal itu. Mereka sangat kecewa dan merasa khawatir dengan hilangnya tempat Suci mereka. Perang Salib pertama terjadi ketika pasukan Salib telah berhasil menaklukkan Palestina (Baitul Maqdis/Yerusalem) pada 1099 M. Kemudian yang kedua kalinya terjadi di Hittin pada 1187 M, yang dimenangkan oleh Shalahuddin dan berhasil menguasai Baitul Maqdis. Kekalahan pasukan Salib telah menggemparkan dunia Kristen Eropa dalam misi yang ketiga kalinya [19]. Paus Clement III yang menjadi promotor atas invasi pasukan Salib selanjutnya dengan misi balas dendam untuk merebut kembali tanah Suci Yerusalem dari Umat Islam.

Shalahuddin sudah mengatahui akan adanya invasi pasukan salib untuk merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan Umat Islam. Pada 1189 M, pasukan Salib Eropa telah sampai di wilayah Acre, wilayah yang berada di daerah Pesisir Yerusalem. Perjalanan yang di lalui oleh tentara Salib menuju Yerusalem melalui jalan laut. Tujuan kali ini untuk terlebih dulu menguasai wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pesisir laut. Karena dirasa sangat memungkinkan untuk mendapatkan kemenangan bagi pasukan Salib Eropa jika wilayah yang berada di pesisir berhasil dikuasai.

Acre, Ascalon hingga Baitul Maqdis (Yerusalem) menjadi target utama dalam misi ketiga ini. Acre berhasil dikuasai oleh Pasukan Salib Eropa (ke-III) setelah melakukan pengepungan terhadap wilayah Acre, kemudian selanjutnya adalah wilayah perairan Ascalon, tapi sebelum menguasai Ascalon kedua belah pihak lebih dulu melakukan gencatan sejata. Karena perselisihan di antara raja Eropa yang berkenaan dengan status tahta Kerajaan Yerusalem jika Yerusalem berhasil dikuasai kembali oleh pasukan Salib.

Banyaknya korban serta berbagai kesusahan yang mereka hadapi menjadikan masing-masing pihak bersikap lebih realistis. Diplomasi dan upaya perdamaian mulai berlangsung lebih sering. Dan pada akhirnya, dari pihak pasukan salib mengirim surat kepada Shalahuddin Al Ayyubi untuk melakukan perdamaian pada hari selasa 1 september 1192 M untuk gencatan senjata selama 3 tahun bagi kedua belah pihak.[20] Pada perjanjian antara Shalahuddin dan Richard (Raja Inggris) menyepakati perjanjian damai yang disebut dengan Shulh al-

Ramlah, yang isinya disebutkan bahwa “orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak di akan ganggu, dan Baitul Maqdis tetap menjadi milik Kaum Muslim”.[21]

Dengan demikian, berakhirlah Perang Salib III. Setelahnya, orang-orang Kristen Eropa dengan bebas keluar masuk Baitul Maqdis untuk melaksanakan ziarah. Pada 1193 M, Shalahuddin Al Ayyubi wafat. Wilayah-wilayahnya diperintah oleh anggota keluarganya sendiri, kemudian yang dikenal dengan Dinasti Ayyubiyah.[22] Shalahuddin Al Ayyubi wafat setelah menyelesaikan semua misinya dengan sempurna. Umat Islam tenggelam dalam duka yang mendalam. Shalahuddin Al Ayyubi tidak meninggalkan sedikit pun harta kekayaan (warisan), hanya sehelai kain kafan dan nama baik dirinya dan Umat Islam.

Mengadakan Perjanjian Damai Kepada Pihak Musuh

Meski para pendahulu Salahuddin cenderung melakukan perlawanan secara fisik, Salahuddin justru mengambil kebijakan dengan mengadakan perjanjian damai bersyarat dengan pihak musuh. Hal ini dilakukan untuk menghindari jatuhnya banyak korban dan kerugian yang lebih besar.

Demikian kisah teladan yang dicerminkan dari sikap Salahuddin Al-Ayyubi di dalam sejarah peradaban Islam. Kegemilangan perjuangan dari sosok Salahuddin dapat menjadi teladan kita semua.

Skripsi ini membahas Perang Salib yang merupakan serangkaian operasi militer yang dilancarkan oleh Kaum Kristen Eropa terhadap kaum Muslimin pada abad ke-11, dan berlangsung selama kurang lebih dua ratus tahun. Babak paling dahsyat dari seluruh rangkaian Perang Salib ini adalah Perang Salib III (1187- 1192 M.). Pada babak itu muncul seorang pemimpin dari kalangan Islam Sunni bernama Salahuddin al-Ayyubi. Dia berhasil memimpin pasukan Islam dengan gemilang dan merebut kembali Yerusalem dari tangan kaum Kristen Eropa. Faktor yang mendasari kesuksesannya adalah konsep jihad yang dijalankannya, yaitu dengan memadukan antara jihad individu dan jihad kolektif, serta upayanya memperbarui strategi jihad.

OLEH HASANUL RIZQA Kemenangan Muslimin dalam Perang Hattin pada Juli 1187 mengawali pembebasan Baitul Maqdis. Usai pertempuran tersebut, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menawan ratusan prajurit Salib. Pimpinan mereka, Raja Latin Yerusalem Guy Lusignan dan Pangeran Antiokhia Raynald Chatillon, juga ikut ditangkap. Ada sekitar 200 orang yang dieksekusi. Termasuk di antaranya adalah para...

Kebijaksanaan Salahuddin Al-Ayyubi

Dengan segala kesabaran dan kebijaksanaan dalam perjuangan, Salahuddin Al-Ayyubi mampu mengalahkan pasukan Salib di Medan perang Hathin. Selain itu, ada tiga hal penting dari kebijaksanaan Salahuddin yang menjadikan peperangan yang dipimpinnya memperoleh hasil menakjubkan, yaitu:

Latar Belakang Shalahuddin Al Ayyubi

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki kepribadian yang bijaksana dan tegas dalam setiap langkah kehidupannya. Sosok pemimpin atau raja yang sangat disegani oleh masyarakat, prajurit dan para panglima perang ketika Perang Salib berkecamuk. Keberhasilannya dalam memimpin negara dan memimpin perang telah mampu memberikan sumbangsih dalam khazanah dunia Islam Abad Pertengahan.

Namanya besar, harum dan telah dikenal dan dikenang di dalam catatan sejarah Islam maupun sejarah Kristen. Kebijaksanaannya sebagai seorang raja telah diakui oleh para sejarawan dalam kisahnya. Pencapaian agungnya ketika ia telah berhasil menguasai Baitul Maqdis dari tangan kaum Kristen Salib.

Segenap kekuatan dan keyakinannya telah mampu menjadikan dirinya seorang panglima dalam medan perang. Perlindungan dan keadilan serta kecintaannya kepada Agama Islam menjadikan Shalahuddin Al Ayyubi sebagai sosok yang selalu mengedepankan kemaslahatan integritas agama dan masyarakatnya.

Shalahuddin Al Ayyubi mahir dalam ilmu dan strategi berperang. Ia sangat disegani oleh musuh yang dihadapinya. Bahkan ia sangat giat memerangi dan memberantas orang-orang yang memberontak dan yang tidak sepemahaman dengannya.

Sosok Shalahuddin Al Ayyubi tidak hanya dikenali oleh rakyat Mesir saja, di berbagai wilayah kekuasaannya ia sangat dikenali sebagai seorang pemimpin yang mampu menjadi panutan rakyat dan para prajuritnya. Hingga pada saat kematiannya, banyak sekali orang yang merasa sangat kehilangan akan sosoknya.

Untuk penjelasan mengenai Shalahuddin Al Ayyubi, penulis akan memaparkannya lebih lanjut mengenai masa hidupnya dari keluarganya hingga pendidikannya sampai ia menjadi sosok pemimpin Umat Islam yang agung.

Salahuddin Memenangkan Perang Salib

Merangkum buku 55 Tokoh Dunia yang Terkenal dan Paling Berpengaruh Sepanjang Waktu oleh Wulan Mulya Pratiwi, et.al, butuh waktu yang panjang bagi Salahuddin mempersiapkan perang salib. Selain persiapan fisik dan strategi jitu, beliau juga melakukan persiapan secara rohani.

Adapun persiapan lainnya adalah membangun benteng-benteng pertahanan yang kuat, perbatasan-perbatasan yang jelas, membangun markas-markas perang dan menyiapkan kapal-kapal perang terbaik. Persiapan juga dilakukan dengan mendirikan rumah sakit dan menyuplai obat-obatan.

Meskipun Salahuddin sakit keras, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk memperjuangkan tanah Nabi, Jerusalem. Justru semakin kuat tekad Salahuddin untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan kristen.

Perjuangan pertama disebut dengan perang Hathin, atau perang pembuka di mana pasukan Salahuddin pada saat itu berjumlah 63.000 prajurit. Pada perang Hathin, pasukan Salahuddin membunuh 30.000 pasukan salib dan menahan 30.000 pasukan salib.

Perjuangan selanjutnya di kota Al-Quds dan Jerusalem, di mana pasukan Salahuddin banyak yang syahid. Bahkan ketika pasukan Salib memasang salib besar pada batu Shakharkh, hal tersebut membuat pasukan semakin bersemangat dan akhirnya berhasil memenangkan perang salib yang kedua.

Biografi Singkat Salahuddin Al-Ayyubi

Menukil buku Sejarah Islam oleh Mahayudin Hj. Yahaya, masa kecil Salahuddin Al-Ayyubi dihabiskan untuk belajar di Damaskus. Selain belajar agama Islam, Salahuddin Al-Ayyubi juga mendapat pelajaran militer dari pamannya Asaddin Syirkuh, yang merupakan seorang panglima perang Turki Saljuk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bersama dengan pamannya, Salahudin berhasil menguasai Mesir dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Berkat keberhasilannya, Salahuddin diangkat menjadi panglima perang pada 1169 M.

Salahuddin dikenal karena kecerdasan dalam menyusun strategi, baik dalam peperangan maupun dalam pemerintahan. Tak membutuhkan waktu lama, Salahuddin mampu memimpin Mesir dengan baik.

Salahuddin juga mendirikan dua sekolah besar yang mengajarkan tentang Islam yang benar. Tujuan beliau adalah untuk menghapus ajaran Syi'ah yang menyebar di Mesir kala itu.

Pemberian Grasi Kepada Pihak Musuh

Salahuddin saat menaklukan Jerusalem menampilkan keluhuran Budi kepada pasukan Salib, berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan pasukan Salib dahulu saat menaklukan Jerusalem. Salahuddin justru memberikan grasi kepada beberapa orang di antara mereka yang dinilai tidak melakukan penindasan keji terhadap umat Islam.

Pada tahun berapa Yesus Kristus dilahirkan? Kapan Yesus lahir?

Salahuddin Al-Ayyubi adalah salah satu pahlawan besar dalam sejarah Islam. Ia mendapat gelar al-Malik al-Nashir yang artinya penguasa yang bijaksana.

Yusuf bin Ayyub atau yang lebih dikenal dengan Salahuddin Al-Ayyubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit pada tahun 532 H/1137 M. Ayahnya bernama Najm ad-Din Ayyub, seorang Gubernur Baalbek.